Pertanyaan :
وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ
(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ
Saya ingin bertanya tentang hukum boleh
atau tidaknya melakukan jual beli via internet, karena saya sering
melakukan itu. Saya sering membeli barang di internet, lalu saya
melakukan konfirmasi pembelian, kemudian saya mengirimkan uang melalui
transfer bank, lalu saya mengkonfirmasi pembayaran saya dan pihak
penjual mengrimkan konfirmasinya melalui e-mail.<> Menurut ustadz
cara jual beli online seperti itu dibolehkan/tidak? lalu apa landasan
hukumnya ustadz? apa ada hadits yang mengqiyaskan tentang jual beli
onlien ustadz? Mohon dijawab ya ustadz pertanyaan saya, agar saya dapat
memestikan tindakan saya ini. Terimakasih. Wassalamualaikum.
Jawaban :
Wa’alaikumsalam warahmatullah.
Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan fasilitas dan semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet sebagaimana pertanyaan yang saudari sampaikan.
Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya dengan dasar pengambilan hukum;
1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:
Jawaban :
Wa’alaikumsalam warahmatullah.
Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan fasilitas dan semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet sebagaimana pertanyaan yang saudari sampaikan.
Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya dengan dasar pengambilan hukum;
1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:
وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk
lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya
telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.
2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:
2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:
(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ
(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah
fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual
beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang
bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus
sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun
barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya
secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti
keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya
tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut
kajian yang kuat.
Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua), barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana dalam sebuah hadis dinyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).
Jawaban ini kiranya dapat dijadikan acuan dalam tindakan yang anda lakukan. Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli. Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin.
Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua), barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana dalam sebuah hadis dinyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).
Jawaban ini kiranya dapat dijadikan acuan dalam tindakan yang anda lakukan. Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli. Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin.