Dalam Al-Qur'an Alloh SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)
Wasilah dalam ayat ini bermakna مَا يُقَرِّبكُمْ إلَيْهِ مِنْ طَاعَته (= apa-apa yang mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan jalan taat).
Tawassul Yang Tidak Ada Pertentangan tentang Kebolehannya:
1. Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah – (QS al-A’raf: 180)
2. Tawassul melalui Amal Saleh
3. Tawassul melalui do’a Rasulullah dan doa saudara mukmin yang masih hidup.
4. Tawassul dengan minta do’a Rasulullah (syafa’at) pada hari kiamat
Tawassul Yang Dipertentangkan tentang Kebolehannya:
1. Tawassul melalui Dzat (Diri) Para Nabi dan Hamba Saleh Setelah wafatnya
2. Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh
Landasan Yg Difahami Berbeda
1. Tawassul Kepada Rasul Saat Masih Hidup:
Dari Utsman bin Hunaif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang
seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas
lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia (Allah) menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda:
“Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu
lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a
(untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”.
Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia
berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia
membaca do’a berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى
رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi
–Mu Muhammad, Nabi yang penuh rahmat, ( Ya Muhammad) sesungguhnya aku
telah datang menghadap Tuhankudengan (perantaraan) engkau untuk meminta
hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan
kepadanya untukku [HR. at-Tirmidzi (no.3578), an-Nasa’i (no. 10495),
Ibnu Majah (no. 1385), Ahmad (no. 16789), al-Hakim (1/313)]. At Tirmidzi
menyatakan hadits ini hasan shahih, Al Hakim menyatakanhadits ini
shahih menurut syarat Bukhory dan Muslim. Al A’dzomy menyatakan sanadnya
shahih dalam Ta’liq Shahih Ibnu Khuzaimah, Adz Dzahabi mensahihkannya,
Al Albani menyatakan hasan shahih dalam Misykâtul Mashâbîh]
2. Tawassul Kepada Orang Shaleh: Khalifah Umar
bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul,
Abbas bin Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ
نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا ، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ
Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu
melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami
bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan
(perawi) berkata: maka mereka diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)
3. Tawassul Kepada Rasul Setelah Beliau Wafat:
Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman
bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi
kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu
pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal
yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif
mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan
menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi
pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk
memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku …. [HR. Ahmad (
4/138), at-Tirmidzi (5/569), Ibnu Majah (1/441), Al Hakim dalam Al
Mustadrak (1/313) dia mengatakan hadis ini sanadnya sahih, dan
disepakati oleh adz Dzahaby lihat تَنْبِيهُ الهَاجِدْ إلَى مَا وَقَعَ
مِنَ النَّظَرِ فى كُتُبِ الأَمَاجِدِ (2/28)]
Sedangkan yang tidak menggunakan tawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah meninggal dalam berdo’a, memahami lafadz إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ (sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu) dan yang semakna dalam hadits-hadits tersebut dengan takwilan:
إِنِّي أَسْأَلُك بِإِيمَانِي بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ
Sesungguhnya aku memohon kepada Engkau dengan (perantaraan) imanku kepadanya dan kecintaanku kepadanya (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 14/156). Sehingga mereka menolak dikatakan
bertawassul dengan dzat/diri Nabi setelah meninggal. Namun hal ini
dibantah oleh orang yang bertawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah
meninggal dalam berdo’a dengan menyatakan bahwa: bertawassul kepada
diri (dzat) orang yang sudah meninggal pada dasarnya adalah karena
kecintaan mereka kepada orang yang sudah meninggal tersebut, dan
kecintaan ini adalah termasuk amal dari orang yang bertawassul, sehingga
masih termasuk dalam kategori bertawassul dengan amal shalih sendiri.
Sehingga tidak ada bedanya menyatakan إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ maupun إِنِّي أَسْأَلُك بِإِيمَانِي بِهِ
وَبِمَحَبَّتِهِ. Lebih lanjut, yang membolehkan tawassul memberikan
beberapa catatan, antara lain.
a. Tawassul adalah salahsatu cara berdo’a, dan yang
dituju asalnya (hakikatnya) adalah Allah SWT, mengingkari hal ini
berarti telah musyrik.
b. Tidak boleh bertawassul kepada suatu wasilah
kecuali karena kecintaan kepada yg dia bertawassul dengannya dan
kepercayaan bahwa Allah mencintai orang yang jadi wasilah tersebut,
walaupun dalam hal ini memang ada ikhtilaf, dan sebagian sangat tidak
menyukai hal ini.
c. Orang yang bertawassul jika ia mengi’tikadkan
bahwa yang dia jadikan wasilah mampu memberikan manfa’at atau mudlorot
sendiri maka telah musyrik.
d. Tawassul bukanlah perkara yang esensial dan
penting, dan tidaklah pengabulan do’a bergantung dengannya, bahkan hukum
asal berdo’a adalah langsung kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al Baqarah:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
Dan jika hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat.
Kesimpulan
a. Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah,
Hanafiyyah yang akhir, dan Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw,
baik saat beliau hidup maupun sesudah beliau wafat.
Al Qashtalani meriwayatkan bahwa Imam Malik membolehkan juga, ketika
ditanya kemana menghadap saat berdo’a, ke kiblat atau ke kubur
Rasulullah SAW? Maka Imam Malik menjawab:
وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك
وَوَسِيلَةُ أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل
يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ
اللَّهُ
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya,
sedangkan dia adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT
pada hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan
mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada
nabi saw) maka Allah akan menolong engkau. Dan Imam Nawawi juga berpandangan seperti ini.
b. Sebagian ulama Hanafiyyah, semisal Abu Yusuf memandang tawassul dengan ucapan بِحَقِّ رُسُلِك (demi kebenaran Rasul-Mu) dan ungkapan semisalnya, hukumnya makruh.
c. Ibnu Taymiyyah dan sebagian kalangan akhir madzhab
Hanbali menyatakan tidak boleh bertawassul dengan dzat nabi SAW. Akan
tetapi Ibnu Taymiyyah membolehkan jika dihadirkan makna tawassul dengan
keimanan dan kecintaan kepada nabi, dalam titik ini seharusnya pendapat mereka bisa bertemu walaupun mungkin beda pengungkapan.
d. Adapun tawassul dengan selain nabi, pembahasannya sama dengan diatas.
Saya menulis artikel ini bukan bermaksud ikut campur
dalam perdebatan sengit di beberapa blog, namun saya berharap baik yang
pro maupun yang kontra bisa melihat permasalahan umat yang jauh lebih
besar yang seharusnya mereka ikut berjibaku mengatasinya. Adapun
ikhtilaf dalam masalah ini tidak cukup untuk menganggap orang yang
berbeda pendapat telah keluar dari Islam, atau saling serang dengan
predikat telah musyrik, kafir atau sesat. Allahu Ta’ala A’lam.
[https://mtaufiknt.wordpress.com]