TAWASSUL
DENGAN NABI SAW DI PELATARAN HARI KIAMAT
Adapun tawassul dengan Nabi SAW di
pelataran hari kiamat, maka tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar. Karena
hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawatir. Semua hadits
ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang berada di padang
mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat
menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para
Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa kemudian Isa yang
mengarahkan mereka agar datang kepada junjungan para Nabi SAW. Sehingga ketika
mereka memohon pertolongan kepada beliau SAW, beliau segera mengabulkan
permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untukku, syafa’at ini adalah untukku,”
ucap beliau. Selanjutnya beliau tersungkur bersujud sampai mendapat panggilan,
“Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at maka syafaatmu akan
diterima.” Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus dari para Nabi,
rasul dan semua orang mu’min dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta
alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon pertolongan di saat mengalami
puncak krisis dengan orang-orang besar yang dekat dengan Allah adalah salah
satu kunci terbesar bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat
mengantarkan ridlo Allah.
LEGALITAS TAWASSUL DALAM METODE SYAIKH IBNU
TAIMIYYAH
Dalam kitabnya Qa’idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, Ibnu
Taimiyyah, ketika berbicara tentang firman Allah :
يا أيها الذين آمنوا
اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
Ia berkata, “Mencari wasilah ( mediator ) kepada
Allah hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertawassul kepada Allah dengan
beriman kepada Muhammad dan pengikut beliau. Tawassul model ini dengan keimanan
kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi setiap orang
dalam kondisi apapun baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau atau sesudah
wafat, dan pada saat berada bersama beliau atau jauh dengan beliau. Tawassul
dengan iman kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang
dalam situasi dan kondisi apapun setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak
gugur dengan alasan apapun. Tidak ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah,
serta selamat dari kehinaan dan adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi
Muhammad dan kepatuhan kepadanya. Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua
makhluk dan pemilik al-maqaam al-mahmuud (kedudukan terpuji) yang membuat iri
manusia periode awal dan akhir. Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling
tinggi kedudukannya di sisi Allah. Allah berfirman mengenai Musa :
وكان عند الله وجيهاdan mengenai ‘Isa :
وجيها في الدنيا والآخرةdan Nabi
Muhammad lebih tinggi kedudukannya dibanding para Nabi dan rasul lain. Tetapi
syafaat dan do’a beliau SAW hanya berguna bagi orang yang diberi syafaat dan
do’a oleh beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafaat oleh beliau itu
bertawassul kepada Allah dengan syafaat dan doa beliau. Sebagaimana bertawassul
kepada Allah dengan doa dan syafaat beliau dan sebagaimana manusia bertawassul
kepada Allah di hari kiamat dengan doa dan syafaat beliau SAW.
Dalam Al
Fataawaa al Kubraa Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sbb, “Apakah
boleh tawassul dengan Nabi SAW atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah, adapun
tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan salam
kepadanya dan dengan doa serta syafaatnya dan sebagainya, menyangkut hal-hal
yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya diperintahkan
agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut
kesepakatan ulama muslimin.”Menurut saya, dari pendapat Ibnu Taimiyyah biusa
ditarik dua point berikut :
1. Seorang muslim yang taat, cinta kepada Rasulullah
SAW, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau disyari’atkan untuk
bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan dan pembenarannya kepada beliau.Jika
kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya
kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada beliau, dan keutamaan serta
kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari tawassul. Tidak bisa tawassul
seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak
mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua kaum muslimin yang
mempraktekkan tawassul. Hanya saja orang yang bertawassul kadang mengucapkan
dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena berpijak pada maksud
sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau
SAW, bukan maksud yang lain.
2. Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari
pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah
baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat
keterangan bahwa beliau mendoakan ummatnya sebagaimana terdapat dalam banyak
hadits, di antaranya :Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Saat aku melihat Nabi SAW
sedang bersuka hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah
untukku!” Rasulullah pun berdoa :
اللهم اغفر لعائشة ما تقدم من
ذنبها وما تأخر وما أسررت وما أعلنت , فضحكت عائشة حتى سقط رأسها في حجرها من
الضحك و فقال لها رسول الله : أيسرك دعائي , فقالت : وما لي لا يسرني دعائك , فقال
النبي : إنها لدعائي لأمتي في كل صلاة.
“Ya Allah, ampunilah dosa
‘Aisyah, baik dosa yang telah lewat, dosa belakangan, yang disembunyikan dan
yang dilakukan dengan terang-terangan.” ‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh
ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada
apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah. “Do’a
itu adalah do’aku untuk ummatku yang kupanjatkan setiap sholat.” Lanjut
Nabi.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Para perawinya adalah para
perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn al Manshur
al Ramadi, yang notabene dapat dipercaya. ( dikutip dari Majma’ul Zawaaid ).
Karena itu, sah saja bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan
doa Nabi untuk ummatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu
Muhammad telah mendoakan ummatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya
bertawassul kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku
..dst.” Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar
dari ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah,
saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak
mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang
telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap
muslim yang tidak melebihi batas ini. karena orang yang bertawassul dengan Nabi
tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau
menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa dan
syafaat. Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan
menjawab shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan
relevan yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan
yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau :
حياتي خير لكم
ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و
إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan
matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan
percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan
kebaikan maka aku memuji Allah.
Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan
ampunan kepada Allah buat kalian.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hafidh
Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al Haitsami
menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits
shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para
perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan
nanti. Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah
SAW memohonkan ampunan ( istighfar ) untuk ummatnya. Istighfar adalah doa dan
ummat beliau memeperoleh manfaat dengannya.Terdapat keterangan dalam sebuah
hadits bahwa Nabi SAW bersabda : ما من أحد يسلّم عليّ إلا رد الله عليّ
وروحي حتى أرد السلام “Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi
salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab
salamnya.” HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA. Imam Al Nawaawi berkata : Isnad
hadits ini shahih.
Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau SAW
menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang
berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat
manfaat dari doa beliau ini.
DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL DENGAN NABI
SAWVERSI AHMAD IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYYAH
Di samping dalam sebagian tempat
dari kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan
Nabi SAW tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat
berada di tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul
dengan Nabi ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al Fataawaa al
Kubraa.Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula,
salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi SAW dalam berdo’a
sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh Al
Turmudzi, “Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan
membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul
denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi.
Terimalah, Ya Allah, syafaat Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah
baik. Al Fataawaa vol. III hlm. 276.
“Tawassul kepada Allah dengan selain beliau
SAW, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah
seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu
bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi SAW.
Adapun tawassul dengan Nabi SAW, maka terdapat hadits hasan dalam Al Sunan yang
diriwayatkan oleh Al Nasai, Al Turmudzi dan yang lain. Hadits tersebut adalah,
“Seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mataku
terserang musibah, do’akanlah kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudlu’lah
dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon
kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad,
saya memohon syafaat kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah,
terimalah syafaat Nabi-Mu untukku.” Jawab Nabi. “Jika kamu mempunyai keperluan
maka bacalah doa tadi.” Lanjut beliau. Lalu Allah pun mengembalikan
penglihatannya.
Berangkat dari hadits ini Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul
dengan Nabi SAW. Al Fataawaa vol. 1 hlm. 105.Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam Al
Mansaknya ( Buku tata cara ibadah / manasik ) yang ditulis untuk muridnya, Al
Marwazi, “Bahwasanya Nabi Saw bisa dijadikan sebagai obyek tawassul dalam
do’anya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau
adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan
bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu
riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi SAW, karena itu
diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” ( Al Fataawaa, vol. I hlm. 140
).
DIPERBOLEHKAN TAWASSUL VERSI IMAM AL SYAUKANI
Al Muhaddits Al Salafi Al Syaikh
Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al Dlurr Al
Nadliid fi Ikhlaashi Kalimaati Al Tauhid mengatakan, “Adapun tawassul kepada
Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan
seorang hamba, maka Al Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “bahwasanya
tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi SAW, jika hadits yang
menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali Syaikh
‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh Al Nasaa’i dalam
Sunannya dan Al Turmudzi , dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang
lain bahwa seorang tuna netra datang kepada Nabi SAW ….dst. “Para ulama
memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits ini :
1. Tawassul adalah apa
yang diucapkan oleh Umar ibn Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu
mengalami paceklik, maka kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, hingga
akhirnya Engkau menurunkan hujan buat kita, dan kami bertawassul dengan paman Nabi
kami.” Hadits ini tercantum dalam Shahih al Bukhari dan kitab lain. Umar telah
mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi SAW semasa hidup
beliau untuk memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau,
Abbas sepeninggal beliau. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan
hujan sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau adalah mediator
mereka kepada Allah, dan Nabi dalam konteks memohon hujan ini adalah orang yang
memberi syafaat dan berdoa untuk mereka.
2. Bahwa tawassul dengan Nabi SAW bisa
pada saat beliau masih hidup, telah tiada, ketika beliau ada di tempat atau
tidak berada di tempat. Tidak samar lagi buat kamu bahwa telah nyata tawassul
dengan beliau semasa masih hidup dan juga tawassul dengan selain beliau
sepeninggal beliau berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat. Karena tidak ada satu
sahabat pun yang menentang pendapat Umar ibn Khaththab dalam tawassulnya dengan
Abbas RA. Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan
tawassul hanya dengan beliau SAW, sebagaimana pendapat Syaikh ‘Izzuddin ibn
‘Abdissalam, berdasarkan dua faktor :
1. Fakta yang telah saya sampaikan
kepadamu menyangkut adanya konsensus para sahabat.
2. Bahwa tawassul kepada
Allah dengan orang-orang yang baik dan para ulama pada dasarnya adalah tawassul
dengan amal perbuatan mereka yang baik dan keistimewaan-keistimewaan mereka
yang utama. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali berkat amal
perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu
dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi SAW
mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu besar
yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang
paling luhur kemudian batu itu pun bergeser. Seandainya tawassul dengan amal
perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian
orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang
sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun
tidak akan diam untuk mengingkari tindakan mereka setelah menceritakan kisah
mereka.
Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat
yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan
orang-orang shalih seperti :ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى\"Kami
tidak menyembah mareka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.\" ( Q.S.Az.Zumar : 3 )فلا تدعوا مع الله
أحدا\"Maka kamu janganlah menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (
menyembah ) Allah.\" ( Q.S.Al.Jin : 18 )له دعوة الحق والذين يدعون من دونه
لايستجيبون لهم بشيء\"Hanya bagi Allah-lah ( hak mengabulkan ) do`a yang
benar.Dan berhala-behala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatupun bagi mereka.\" ( Q.S.Ar.Ra\`d : 14 )berada di
luar konteks.
Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk beragumentasi atas
aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang berada di luar
persoalan. Karena ucapan mereka ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى
menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya sama sekali tidak
menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu memiliki keistimewaan
di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena
keistimewaannya tersebut.
Demikian pula firman Allah فلاتدعوا مع الله أحدا ,
ayat ini melarang selain Allah dimintakan doa bersamaan dengan Allah seperti
mengatakan dengan Allah dan dengan Fulan. Sedang orang yang bertawassul dengan
orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang terjadi pada
dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang dilakukan
sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa yang
tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka. Hal yang sama juga berlaku
pada ayat :
له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء
Karena
kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan
mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka.
Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali
kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain
bersama Allah saat berdoa. Jika engkau telah mengetahui paparan di atas,
maka tidak samar bagimu untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan kelompok
penolak tawassul, yang berada di luar konteks dari apa yang telah saya jelaskan
di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan firman Allah :
وما
أدراك ما يوم الدين , ثم ما أدراك ما يوم الدين ، يوم لاتملك نفس لنفس شيئا والأمر
يومئذ لله
"Tahukah kamu apa hari pembalasan itu ?Sekali
lagi,tahukah kamu apakah hari pembalasan itu ?( Yaitu )hari (ketika )seseorang
tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain . Dan segala urusan pada hari
itu dalam kekuasaan Allah.\" ( Q.S.Al.Infithaar : 17-19 ) Karena ayat ini
hanya menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa tunggal di hari kiamat.
Selain Allah tidak memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul dengan salah
seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul
memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya
keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran
demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata. Demikian pula
berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah :
ليس لك من الأمر
شيء ، قل لا أملك لنفسي ضرا ولانفعا
"Tak ada sedikitpun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu."( Q.S.Ali \`Imran : 128 )
Katakanlah :"Aku
tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak ( pula )Kemanfaatan kepada
diriku."( Q.S.Yunus : 49 ) Karena kedua ayat ini mengindikasikan bahwa
Rasulullah SAW tidak memiliki peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau
tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau
memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain.
Kedua ayat ini tidak mengandung
larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama.
Allah telah menjadikan buat Rasulullah SAW al Maqaam al Mahmud yakni maqam
syafa’ah paling besar, dan menunjukkan makhluk agar memohon kepada beliau
syafa’ah tersebut sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi
dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.” Perintah Allah ini terdapat
dalam kitab-Nya yang mulia bahwasanya syafaat tidak akan ada tanpa seizin Allah
dan hanya untuk mendapat ridla-Nya.
Demikian pula argumentasi untuk menolak
tawassul dengan sabda Nabi SAW saat turun firman Allah :وأنذر عشيرتك
الأقربين\"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat.\"( Q.S.As.Syu\`araa : 214 )“Wahai Fulan, aku tidak memiliki
apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa
dari Allah untukmu.” Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung penjelasan
secara transparan bahwa Nabi SAW tidak mampu memberi manfaat orang yang
dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak mampu memberi bahaya orang
yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga bahwa beliau tidak memiliki
apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang
muslim mengerti akan hal ini. Dalam hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi
SAW tidak dijadikan obyek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta
sesuatu kepada yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang
memohon hanya mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya
do’a dari Dzat yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni
Penguasa hari pembalasan. Demikianlah pandangan Imam Al Syaukani.