Ngaji Tawassul Bagian IV...

Senin, 29 Januari 2018
TAWASSUL DENGAN NABI SAW DI PELATARAN HARI KIAMAT

Adapun tawassul dengan Nabi SAW di pelataran hari kiamat, maka tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar. Karena hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawatir. Semua hadits ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang berada di padang mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa kemudian Isa yang mengarahkan mereka agar datang kepada junjungan para Nabi SAW. Sehingga ketika mereka memohon pertolongan kepada beliau SAW, beliau segera mengabulkan permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untukku, syafa’at ini adalah untukku,” ucap beliau. Selanjutnya beliau tersungkur bersujud sampai mendapat panggilan, “Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at maka syafaatmu akan diterima.” Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus dari para Nabi, rasul dan semua orang mu’min dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon pertolongan di saat mengalami puncak krisis dengan orang-orang besar yang dekat dengan Allah adalah salah satu kunci terbesar bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat mengantarkan ridlo Allah.

LEGALITAS TAWASSUL DALAM METODE SYAIKH IBNU TAIMIYYAH

Dalam kitabnya Qa’idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, Ibnu Taimiyyah, ketika berbicara tentang firman Allah :
 يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
Ia berkata, “Mencari wasilah ( mediator ) kepada Allah hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertawassul kepada Allah dengan beriman kepada Muhammad dan pengikut beliau. Tawassul model ini dengan keimanan kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi setiap orang dalam kondisi apapun baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau atau sesudah wafat, dan pada saat berada bersama beliau atau jauh dengan beliau. Tawassul dengan iman kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang dalam situasi dan kondisi apapun setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak gugur dengan alasan apapun. Tidak ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah, serta selamat dari kehinaan dan adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi Muhammad dan kepatuhan kepadanya. Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua makhluk dan pemilik al-maqaam al-mahmuud (kedudukan terpuji) yang membuat iri manusia periode awal dan akhir. Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah. Allah berfirman mengenai Musa : وكان عند الله وجيهاdan mengenai ‘Isa : 
 وجيها في الدنيا والآخرةdan Nabi Muhammad lebih tinggi kedudukannya dibanding para Nabi dan rasul lain. Tetapi syafaat dan do’a beliau SAW hanya berguna bagi orang yang diberi syafaat dan do’a oleh beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafaat oleh beliau itu bertawassul kepada Allah dengan syafaat dan doa beliau. Sebagaimana bertawassul kepada Allah dengan doa dan syafaat beliau dan sebagaimana manusia bertawassul kepada Allah di hari kiamat dengan doa dan syafaat beliau SAW. 

Dalam Al Fataawaa al Kubraa Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sbb, “Apakah boleh tawassul dengan Nabi SAW atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah, adapun tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan salam kepadanya dan dengan doa serta syafaatnya dan sebagainya, menyangkut hal-hal yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya diperintahkan agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut kesepakatan ulama muslimin.”Menurut saya, dari pendapat Ibnu Taimiyyah biusa ditarik dua point berikut :

1. Seorang muslim yang taat, cinta kepada Rasulullah SAW, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau disyari’atkan untuk bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan dan pembenarannya kepada beliau.Jika kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada beliau, dan keutamaan serta kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari tawassul. Tidak bisa tawassul seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua kaum muslimin yang mempraktekkan tawassul. Hanya saja orang yang bertawassul kadang mengucapkan dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena berpijak pada maksud sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau SAW, bukan maksud yang lain.

2. Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat keterangan bahwa beliau mendoakan ummatnya sebagaimana terdapat dalam banyak hadits, di antaranya :Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Saat aku melihat Nabi SAW sedang bersuka hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!” Rasulullah pun berdoa :
   اللهم اغفر لعائشة ما تقدم من ذنبها وما تأخر وما أسررت وما أعلنت , فضحكت عائشة حتى سقط رأسها في حجرها من الضحك و فقال لها رسول الله : أيسرك دعائي , فقالت : وما لي لا يسرني دعائك , فقال النبي : إنها لدعائي لأمتي في كل صلاة.   
“Ya Allah, ampunilah dosa ‘Aisyah, baik dosa yang telah lewat, dosa belakangan, yang disembunyikan dan yang dilakukan dengan terang-terangan.” ‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah. “Do’a itu adalah do’aku untuk ummatku yang kupanjatkan setiap sholat.” Lanjut Nabi. 

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Para perawinya adalah para perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn al Manshur al Ramadi, yang notabene dapat dipercaya. ( dikutip dari Majma’ul Zawaaid ). Karena itu, sah saja bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi untuk ummatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu Muhammad telah mendoakan ummatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya bertawassul kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku ..dst.” Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar dari ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap muslim yang tidak melebihi batas ini. karena orang yang bertawassul dengan Nabi tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa dan syafaat. Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan menjawab shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan relevan yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau : 
  حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.   
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. 

Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.  Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah SAW memohonkan ampunan ( istighfar ) untuk ummatnya. Istighfar adalah doa dan ummat beliau memeperoleh manfaat dengannya.Terdapat keterangan dalam sebuah hadits bahwa Nabi SAW bersabda : ما من أحد يسلّم عليّ إلا رد الله عليّ وروحي حتى أرد السلام   “Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.” HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA. Imam Al Nawaawi berkata : Isnad hadits ini shahih.   
Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau SAW menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat manfaat dari doa beliau ini. 

DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL DENGAN NABI SAWVERSI AHMAD IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYYAH

Di samping dalam sebagian tempat dari kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan Nabi SAW tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat berada di tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul dengan Nabi ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al Fataawaa al Kubraa.Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula, salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi SAW dalam berdo’a sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh Al Turmudzi, “Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi. Terimalah, Ya Allah, syafaat Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah baik. Al Fataawaa vol. III hlm. 276.
“Tawassul kepada Allah dengan selain beliau SAW, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi SAW. 

Adapun tawassul dengan Nabi SAW, maka terdapat hadits hasan dalam Al Sunan yang diriwayatkan oleh Al Nasai, Al Turmudzi dan yang lain. Hadits tersebut adalah, “Seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mataku terserang musibah, do’akanlah kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudlu’lah dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, saya memohon syafaat kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafaat Nabi-Mu untukku.” Jawab Nabi. “Jika kamu mempunyai keperluan maka bacalah doa tadi.” Lanjut beliau. Lalu Allah pun mengembalikan penglihatannya. 

Berangkat dari hadits ini Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul dengan Nabi SAW. Al Fataawaa vol. 1 hlm. 105.Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam Al Mansaknya ( Buku tata cara ibadah / manasik ) yang ditulis untuk muridnya, Al Marwazi, “Bahwasanya Nabi Saw bisa dijadikan sebagai obyek tawassul dalam do’anya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi SAW, karena itu diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” ( Al Fataawaa, vol. I hlm. 140 ).

DIPERBOLEHKAN TAWASSUL VERSI IMAM AL SYAUKANI

Al Muhaddits Al Salafi Al Syaikh Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al Dlurr Al Nadliid fi Ikhlaashi Kalimaati Al Tauhid mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka Al Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “bahwasanya tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi SAW, jika hadits yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali Syaikh ‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh Al Nasaa’i dalam Sunannya dan Al Turmudzi , dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang lain bahwa seorang tuna netra datang kepada Nabi SAW ….dst. “Para ulama memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits ini :

1. Tawassul adalah apa yang diucapkan oleh Umar ibn Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu mengalami paceklik, maka kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, hingga akhirnya Engkau menurunkan hujan buat kita, dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami.” Hadits ini tercantum dalam Shahih al Bukhari dan kitab lain. Umar telah mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi SAW semasa hidup beliau untuk memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau, Abbas sepeninggal beliau. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan hujan sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau adalah mediator mereka kepada Allah, dan Nabi dalam konteks memohon hujan ini adalah orang yang memberi syafaat dan berdoa untuk mereka.

2. Bahwa tawassul dengan Nabi SAW bisa pada saat beliau masih hidup, telah tiada, ketika beliau ada di tempat atau tidak berada di tempat. Tidak samar lagi buat kamu bahwa telah nyata tawassul dengan beliau semasa masih hidup dan juga tawassul dengan selain beliau sepeninggal beliau berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat. Karena tidak ada satu sahabat pun yang menentang pendapat Umar ibn Khaththab dalam tawassulnya dengan Abbas RA. Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan tawassul hanya dengan beliau SAW, sebagaimana pendapat Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, berdasarkan dua faktor :

1. Fakta yang telah saya sampaikan kepadamu menyangkut adanya konsensus para sahabat.
2. Bahwa tawassul kepada Allah dengan orang-orang yang baik dan para ulama pada dasarnya adalah tawassul dengan amal perbuatan mereka yang baik dan keistimewaan-keistimewaan mereka yang utama. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali berkat amal perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi SAW mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu besar yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang paling luhur kemudian batu itu pun bergeser. Seandainya tawassul dengan amal perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun tidak akan diam untuk mengingkari tindakan mereka setelah menceritakan kisah mereka. 

Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih seperti :ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى\"Kami tidak menyembah mareka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.\" ( Q.S.Az.Zumar : 3 )فلا تدعوا مع الله أحدا\"Maka kamu janganlah menyembah seseorangpun di dalamnya di samping ( menyembah ) Allah.\" ( Q.S.Al.Jin : 18 )له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء\"Hanya bagi Allah-lah ( hak mengabulkan ) do`a yang benar.Dan berhala-behala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka.\" ( Q.S.Ar.Ra\`d : 14 )berada di luar konteks. 

Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk beragumentasi atas aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang berada di luar persoalan. Karena ucapan mereka ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut. 

Demikian pula firman Allah فلاتدعوا مع الله أحدا , ayat ini melarang selain Allah dimintakan doa bersamaan dengan Allah seperti mengatakan dengan Allah dan dengan Fulan. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang terjadi pada dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang dilakukan sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka. Hal yang sama juga berlaku pada ayat :
 له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء
Karena kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain bersama Allah saat berdoa. Jika engkau telah mengetahui paparan di atas, maka tidak samar bagimu untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan kelompok penolak tawassul, yang berada di luar konteks dari apa yang telah saya jelaskan di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan firman Allah :
   وما أدراك ما يوم الدين , ثم ما أدراك ما يوم الدين ، يوم لاتملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ لله   
"Tahukah kamu apa hari pembalasan itu ?Sekali lagi,tahukah kamu apakah hari pembalasan itu ?( Yaitu )hari (ketika )seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain . Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.\" ( Q.S.Al.Infithaar : 17-19 ) Karena ayat ini hanya menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa tunggal di hari kiamat. Selain Allah tidak memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul dengan salah seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata. Demikian pula berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah :
ليس لك من الأمر شيء ، قل لا أملك لنفسي ضرا ولانفعا
"Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu."( Q.S.Ali \`Imran : 128 )
Katakanlah :"Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak ( pula )Kemanfaatan kepada diriku."( Q.S.Yunus : 49 )  Karena kedua ayat ini mengindikasikan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain. 
Kedua ayat ini tidak mengandung larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama. Allah telah menjadikan buat Rasulullah SAW al Maqaam al Mahmud yakni maqam syafa’ah paling besar, dan menunjukkan makhluk agar memohon kepada beliau syafa’ah tersebut sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.” Perintah Allah ini terdapat dalam kitab-Nya yang mulia bahwasanya syafaat tidak akan ada tanpa seizin Allah dan hanya untuk mendapat ridla-Nya. 

Demikian pula argumentasi untuk menolak tawassul dengan sabda Nabi SAW saat turun firman Allah :وأنذر عشيرتك الأقربين\"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.\"( Q.S.As.Syu\`araa : 214 )“Wahai Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu.” Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung penjelasan secara transparan bahwa Nabi SAW tidak mampu memberi manfaat orang yang dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak mampu memberi bahaya orang yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga bahwa beliau tidak memiliki apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang muslim mengerti akan hal ini. Dalam hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi SAW tidak dijadikan obyek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta sesuatu kepada yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang memohon hanya mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya do’a dari Dzat yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni Penguasa hari pembalasan. Demikianlah pandangan Imam Al Syaukani.





Emoticon