Ngaji Tawassul Bag. III

Senin, 29 Januari 2018
TAWASSUL ORANG-ORANG YAHUDI DENGAN NABI SAW

Allah berfirman yang artinya
89. \"Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon ( kedatangan Nabi ) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la\`nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.\" ( Q.S.Al.Baqarah : 89 )

Imam Al Qurtubi berkata “ Firman Allah : Walamma jaa’ahum, yakni orang Yahudi, Kitaabun yakni Al Qur’an, Min ‘indillahi mushoddiqun, sifat dari kitaabun. Diluar Al Quran boleh dibaca nashab sebagai hal. Pada mushaf Ubay dalam sebuah riwayat mushoddiqun dibaca nashab. Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil dimana Alqur’an mengabarkan kepada orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakaanu min qablu yastaftihuuna, yakni memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits Nabi memohon pertolongan dengan orang-orang muhajirin yang fakir ; lewat do’a dan sholat mereka. Dalam Al Quran terdapat ayat:
فعسى الله أن يأتي بالفتح أو أمر من عنده
\"Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan ( kepada Rasulnya ) atau suatu keputusan dari sisinya.\" ( Q.S.Al.Maaidah : 52 )
An Nashr bermakna membuka sesuatu yang tertutup dan Al Fathu merujuk kepada kecaman orang arab fatahtu albaaba.
An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi bersabda :
إنما نصرالله هذه الأمة بضعفائها بدعوتهم وصلاتهم وإخلاصهم
“Sesungguhnnya Allah menolong umat ini berkat orang-orang lemah mereka; sebab do’a, shalat dan keikhlasan mereka.”
An Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda :
أبغوني الضعيف فإنكم إنما تنصرون وترزقون بضعفائكم
“Carilah keridloanku dengan berbuat baik kepada orang lemah karena kalian mendapat pertolongan dan rizki hanya berkat mereka.”
Ibnu Abbas berkata : “Dahulu Yahudi Khaibar berperang dengan Ghothafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi kalah. Kemudian orang Yahudi berdo’a dengan ungkapan : “Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan kemulyaan Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan kepada kami akan Engkau keluarkan umtuk kami di akhir zaman guna menolong kami mengalahkan kaum Ghathafan.” Ibnu Abbas berkata : “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang Yahudi akan mengumandangkan do’a ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan. Ketika Nabi Muhammad SAW telah diutus mereka malah mengingkarinya, Lalu turun firman Allah :
\" وكانو من قبل يستفتحون على الّذين كفروا \"
Yakni kafir kepadamu ya Muhammad sampai pada firman
\"فلعنة الله على الكافرين \"
( Tafsir Al Qurtubi vol. 2 hal. 26-27 )

TAWASSUL DENGAN NABI SEWAKTU HIDUP DAN SESUDAH WAFAT

Dari ‘Utsman ibn Hunaif RA, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saat datang kepada beliau seorang lelaki tuna netra yang mengadukan kondisi penglihatannya. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,” katanya mengadu. Maka Rasulullah SAW bersabda :
  ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم أسألك وأتوجه اليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة , يامحمد ! إني أتوجه بك إلى ربك فيجلى لي عن بصري , اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسي , قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه
لم يكن به ضر.

“Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah, “Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.” Utsman berkata, “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah hadits yang isnadnya shahih, tetapi Al Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Versi Al Dzahabi status hadits itu shahih. Vol. I hlm. 519. al Turmudzi berkata dalam Abwaabu al Da’awaat pada bagian akhir dari Al Sunan, “Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak saya kenal kecuali lewat jalur ini dari hadits Abi Ja’far yang bukan Al Khathmi.

Menurut saya yang benar adalah bahwa Abu Ja’far itu Al Khathmi al Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat-riwayat Al Thabarani, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Dalam Al Mu’jam, Al Tahabarani menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Ghimari dalam risalahnya “Ithaaful Adzkiyaa’” berkata, “Tidaklah logis jika para hafidh sepakat untuk menilai shahih sebuah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi majhul ( misterius ) khususnya Al Dzahabi, Al Mundziri dan Al Hafidh.”Berkata Al Mundziri, “Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. ( Al Targhib, kitab al nawaafil, bab al targhib fi shalatilhajat vol. I hlm. 438 ).Tawassul tidak khusus hanya pada saat Nabi SAW masih hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul di atas sesudah beliau wafat. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al Thabarani dan menyebutkan pada awalnya sebuah kisah sbb : seorang lelaki berulang-ulang datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif. Kepada Utsman ibn Hunaif ia mengadukan sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya. “Pergilah ke tempat wudlu, “ suruh ‘Utsman ibn Hunaif, “lalu masuklah ke masjid untuk sholat dua raka’at. Kemudian bacalah doa’ :   اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة , يامحمد ! إنيّ أتوجه بك إلى ربك فيقضي حاجتي , وتذكر حاجتك....! \"Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya bertawassul kepada Tuhanmu lewat dengan engkau. Maka kabulkanlah keperluanku.” Dan sebutkanlah keperluanmu….!Lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga pintu. Dengan memegang tanggannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Utsman ibn Affan. Utsman mempersilahkan keduanya duduk di atas permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu,” tanya Utsman. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini.” kata Utsman, “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman. Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman ibn Hunaif dan menyapanya, “ Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan sebelumnya tidak pernah mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh kepadaku sampai engkau berbicara dengannya. “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman ibn Affan. Namun aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar ?” kata beliau. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,”katanya. “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah do’a ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Kata Utsman ibn Hunaif. Al Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Al Thabarani.” Setelah menyebut hadits ini Al Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” ( Al Targhib vol. I hlm. 440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’ al Zawaid. Vol. II hlm. 279 ).Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Utsman ibn Amr sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu Abdillah Al Maqdisi mengatakan, “Hadits ini shahih.”Kata penulis, “Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani menyebut hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Utman ibn Umair sesuai informasi yang ia miliki dan tidak sampai kepadanya riwayat Rauh ibn Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh dari Syu’bah ini adalah isnad yang shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian meriwayatkan hadits.” ( Qa’idah Jalilah fi al Tawassul wal Wasilah. hlm 106 ).Dari paparan di atas, nyatalah bahwa kisah di muka dinilai shahih oleh Al Thabarani Al Hafidh Abu Abdillah Al Maqdisi. Penilaian shahih ini juga dikutip oleh Al Hafidh Al Mundziri, Al Hafidh Nuruddin Al Haitsami dan Syaikh Ibnu Taimiyyah. Kesimpulan dari kisah di muka adalah bahwa Utsman ibn Hunaif, sang perawi hadits yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah mengajarkan do’a yang berisi tawassul dengan Nabi SAW dan memanggil beliau untuk memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi SAW, panggilan dan permohonan bantuannya kepada beliau SAW. Utsman juga meyakinkan lelaki itu dengan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah menyangkut kebutuhannya. 

 PENGGUNAAN LAIN DANDUKUNGAN IBNU TAIMAIYYAH TERHADAPNYA
                                  
terdapat riwayat dari Ibnu Abi al Dunyaa dalam kitab Mujaabi al Du’aa, ia berkata, “Abu Hasyim bercerita kepadaku : “Saya mendengar Katsir ibn Muhammad ibn Katsir ibn Rifa’ah berkata, “Seorang lelaki datang kepada Abdil Malik ibn Sa’id ibn Abjar. Lalu lelaki itu menyentuh perut Abdil Malik dan berkata, “Dalam tubuhmu ada penyakit yang belum sembuh. “Penyakit apa?” tanya Abdil Malik. “Bisul besar yang muncul di dalam perut yang umumnya mampu membunuh penderita.” Jawab sang lelaki itu. “Lelaki itu lalu berpaling.” Kata Katsir. “Allah, Allah, Allah Tuhanku, “ucap Abdul Malik, “Aku tidak akan menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku bertawassul kepadamu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku bertawassul denganmu Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku dari apa yang menimpa diriku. “Lelaki itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu berkata, “Sungguh kamu telah sembuh. Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.” Ibnu Taimiyyah berkata, “Saya berpendapat bahwa do’a ini dan do’a semisal telah diriwayatkan sebagai do’a yang dibaca oleh generasi salaf.” ( HR. Ibnu Taimiyah dalam Qa’idah Jalilah hlm. 94 ). Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan mengarahkannya sesuai keinginannya sendiri. Namun yang penting bagi kami di sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan generasi salaf terhadap do’a itu dan tercapainya kesembuhan berkat do’a itu. Penegasannya dalam masalah inilah yang penting bagi kami. Adapun komentarnya tentang hadits, itu adalah opininya pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah penetapan adanya nash, agar kami bisa berargumentasi dengannya sesuai kehendak kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk berargumentasi sesuai seleranya.

UPAYA-UPAYA YANG GAGAL
Sebagian golongan Wahabi ramai memberi komentar seputar hadits tawassul Adam, Utsman ibn Hunaif, dan yang lain. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha menolak hadits itu. Mereka berupaya keras, berdiskusi, berdebat, duduk, berdiri dan berteriak-teriak dalam menyikapi masalah ini. Semua perilaku ini tidaklah berguna, karena betapa pun mereka menolak hadits-hadits tentang tawassul, para tokoh mereka yang notabene ulama besar yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual jauh di atas mereka telah menyuarakan opininya. Seperti Al Imam Ahmad ibn Hanbal yang berpendapat dibolehkannya tawassul seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan Al ‘Izz ibn ‘Abdissalam, dan Ibnu Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya secara khusus tentang tawassul dengan Nabi SAW. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab yang menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum muslimin. Justru dalam Fataawaanya, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul adalah persoalan furu’ bukan prinsip. Pandangan Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyyah insya Allah akan dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini.Syaikh Al ‘Allamah al Muhaddits Abdullah Al Ghimari telah menyusun sebuah risalah khusus berisi kajian tentang hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbaahu al-Zujaajah fi Shalaati al Haajah. Dalam risalah ini, beliau menulis dengan baik dan memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup.



Bersambung ke Bagian IV...



Emoticon