Ngaji Tawassul Bagian V...

Senin, 29 Januari 2018
 SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB BERPENDAPAT DIPERKENANKANNYA
 TAWASSUL

Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab pernah ditanya mengenai pendapat ulama dalam masalah istisqa’ : “Tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang shalih,” dan juga mengenai ucapan Imam Ahmad : “Hanya Nabi SAW yang bisa dijadikan obyek tawassul.” padahal para ulama berpendapat bahwa makhluk tidak bisa dijadikan obyek tawassul ?”Syaikh menjawab, “Kedua pendapat ini memiliki perbedaan yang sangat jelas. Polemik ini bukan tema yang sedang kami bicarakan. Adanya sebagian orang yang memperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih dan sebagian mengkhususkan tawassul dengan Nabi, dan mayoritas ulama melarang tawassul dan menilainya makruh, adalah salah satu persoalan fiqh. Meskipun yang benar di mata kami adalah pendapat mayoritas ulama, yakni kemakruhan tawassul. namun kami tidak mengingkari orang yang melakukannya sebab keingkaran tidak perlu dalam persoalan-persoalan yang berbasis ijtihad. Yang kami ingkari hanyalah orang yang berdoa kepada makhluk melebihi berdoa kepada Allah dan orang yang mendatangi kuburan seraya merengek-rengek didekat makam Syaikh Abdul Qadir atau makam lain seraya berharap hilangnya kesulitan dan kesedihan serta diberi kebahagiaan. Di manakah posisi orang seperti ini dari orang yang berdoa semata kepada Allah tidak melibatkan siapapun tetapi ia berkata dalam doanya, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu, para rasul, atau hamba-hamba-Nya yang shalih, atau ia datang ke sebuah kuburan yang telah dikenal atau tidak untuk berdoa di tempat itu, namun ia hanya berdoa kepada Allah semata. Di manakah posisi orang seperti ini dari keingkaran kami terhadap berdoa kepada orang-orang mati. 

Demikianlah kutipan dari fatwa-fatwa Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam kumpulan karya-karya, vol. III hlm. 68 yang diterbitkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibn Sa’ud Al Islamiyyah dalam pekan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.Keterangan di atas menunjukkan tawassul diperbolehkan oleh beliau. Paling jauh, tawassul dianggap makruh oleh beliau dalam pandangan mayoritas ulama. Dan barang yang makruh itu bukan barang haram apalagi dianggap bid’ah atau syirik. 

SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS ORANG YANG MENGKAFIRKAN ORANG-ORANG YANG BERTAWASSUL

Terdapat keterangan dari Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dalam risalah yang disampaikan kepada warga Qashim, keingkaran yang sangat dari beliau atas orang yang menilainya telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih. Beliau berkata, “Bahwa Sulaiman ibn Suhaim telah melontarkan fitnah bahwa saya mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah saya ucapkan dan kebanyakan hal-hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku. Diantaranya ; saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih ; saya mengkafirkan Imam Bushairi gara-gara ucapan beliau : Wahai makhkuk paling mulia, dan bahwa saya membakar kitab Dalailul Khairat.”Jawaban saya atas segala tuduhan di atas adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.

Dalam risalah lain yang beliau persembahkan untuk warga Majma’ah terdapat dukungan terhadap pandangan beliau di atas. Beliau berkata, “Jika persoalan ini sudah jelas. Maka masalah-masalah yang mendapat stigma negatif dari Sulaiman ibn Suhaim, diantaranya ada yang merupakan kebohongan besar, yakni perkataanku bahwa saya telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih dan bahwa saya telah mengkafirkan Imam Bushairi dan sebagainya. Selanjutnya beliau berkata, “Jawaban saya atas tuduhan-tuduhan di muka adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
(Lihat risalah yang pertama dan ke sebelas dari risalah-risalah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab bagian kelima : 12 hlm 64).

TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN NABI SAW

Adalah sebuah kenyataan bahwa para sahabat memohon berkah dengan peninggalan-peninggalan beliau SAW. Memohon berkah ini tidak ada lain kecuali memberikan satu pengertian. Yakni bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau kepada Allah SWT, sebab tawassul bisa dilakukan dengan beragam cara bukan cuma satu.Apakah kamu kira para sahabat hanya bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau, tidak dengan sosok beliau sendiri ?Apakah logis jika cabang bisa dijadikan obyek tawassul tapi yang pokok tidak ? Apakah logis, jika jejak peninggalan beliau yang kemuliaannya disebabkan pemiliknya, Muhammad SAW bisa dijadikan obyek tawassul, kemudian ada seseorang berkata, “Sesungguhnya beliau SAW tidak bisa dijadikan obyek tawassul.” Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.

Nash-nash menyangkut tema ini sangatlah banyak jumlahnya. Namun kami hanya akan menyebut nash yang paling populer. 
- Amirul Mu’minin Umar ibn Al Khaththab sangat berambisi untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah. Saat ajalnya menjelang tiba, ia mengutus anaknya, Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘Aisyah agar bisa dikubur di samping makam beliau SAW. Kebetulan ‘Aisyah menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi kuburanku, dan saya akan memprioritaskan Umar untuk menempatinya,” kata ‘Aisyah. Abdullah pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap Umar. Kisah ini secara detail bisa dilihat di Shahih Al Bukhari. Lalu apa arti keinginan besar dari ‘Umar dan ‘Aisyah ? Mengapa dimakamkan di dekat Rasulullah menjadi hal yang sangat diinginkan oleh Umar ? Hal ini tidak bisa dipahami kecuali semata-mata tawassul dengan Nabi SAW sesudah wafat seraya mengharap keberkahan dekat dengan beliau. 

- Ummu Sulaim memotong mulut geriba yang beliau meminum dari wadah itu. Anas berkata, “Potongan mulut geriba itu ada pada kami.”Para sahabat berebut untuk memungut sehelai rambut kepala beliau, saat beliau mencukurnya. Asma’ binti Abi Bakr menyimpan jubah beliau dan berkata, “Kami membasuhnya untuk orang-orang sakit dengan harapan memohon kesembuhan dengannya.” Cincin Rasulullah, sepeninggal beliau, disimpan oleh Abu Bakr, Umar dan Utsman. Dan jatuh ke sumur dari tangan Utsman. 

Semua hadits-hadits di atas nyata ada dan shahih sebagaimana akan kami jelaskan dalam bahasan memohon keberkahan ( tabarruk ). Yang ingin saya katakan adalah ada apa dengan perhatian para sahabat terhadap jejak-jejak peninggalan Nabi SAW ? (mulut geriba, rambut, keringat, jubah, cincin, dan tempat shalat). Apa maksud perhatian mereka terhadapnya ? Apakah hanya sekedar kenangan, tidak lebih dan tidak kurang, atau hanya menjaga benda-benda peninggalan bersejarah untuk disimpan di museum ? Jika alasan pertama sebagai jawaban, lalu mengapa mereka sangat menaruh perhatian dengannya ketika berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah saat tertimpa musibah atau penyakit ? Jika alasan kedua sebagai jawaban, lalu di manakah museum itu berada dan dari mana ide baru itu sampai kepada mereka ? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim. 

Jika kedua jawaban di atas salah berarti yang tersisa adalah harapan mereka akan keberkahan dengan jejak-jejak peninggalan Nabi SAW untuk dijadikan obyek tawassul kepada Allah saat berdoa. Karena Allah adalah Dzat Pemberi dan tempat meminta. Semua makhluk adalah hamba-Nya dan di bawah kendali-Nya, yang tidak bisa memberi apapan kepada diri mereka sendiri apalagi orang lain kecuali atas izin Allah. 

TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN PARA NABI AS

Allah berfirman :
  وقال لهم نبيهم إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت فيه سكينة من ربكم وبقية مما ترك آل موسى وآل هارون تحمله الملائكة إن في ذلك لآية لكم إن كنتم مؤمنين . 

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka : "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, tabut itu dibawa oleh malaikat.Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman." ( Q.S.Al.Baqarah : 248 )

Dalam Al Tarikh, Ibnu katsir mengatakan, “ Ibnu Jarir mengatakan Menyangkut tabut dalam ayat di atas, “Dahulu Bani Israil jika berperang dengan salah seorang musuh maka mereka senantiasa membawa tabutulmitsaq ( peti perjanjian ) yang berada dalam qubbatuzzaman sebagaimana telah dijelaskan di muka. Mereka mendapat kemenangan sebab keberkahan dari tabutulmitsaq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqalan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan merebut tabutulmitsaq dari tangan mereka.” 

Ibnu Katsir berkata, “Dahulu Bani Israil mengalahkan musuh-musuhnya berkat tabutulmitsaq, yang di dalamnya ada bokor dari emas yang digunakan untuk membasuh dada para Nabi.” ( Al Bidayah vol. II hlm. 8 ).Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan, “Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurat dan beberapa baju Nabi Harun, sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan sepasang sandal.” ( Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313 ).
Dalam versi Al Qurthubi : Salah satu profil mengenai Tabut adalah bahwa ia diturunkan Allah kepada Adam. Tabut tersebut tetap berada di tangan Adam sampai akhirnya berada di tangan Ya’qub. Selanjutnya ia berada di tangan Bani Israil, yang dengannya mereka mampu mengalahkan orang yang menyerang mereka. Ketika mereka durhaka kepada Allah, mereka dikalahkan oleh kaum raksasa yang juga merebut tabut tersebut. ( Tafsir Al Qurthubi vol. III hlm. 247 ). 

Fakta tentang Tabut ini sejatinya tidak lain adalah bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan para Nabi. Karena tidak ada artinya meletakkan Tabut di depan mereka kecuali dipahami sebagai bentuk tawassul. Allah SWT sendiri meridloi tawassul seperti ini dengan bukti Dia mengembalikannya kepada mereka dan dijadikan sebagai indikasi atas keabsahan Thalut menjadi raja. Allah tidak pernah mengingkari perlakuan mereka terhadap Tabut.

TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN KEMULIAAN PARA NABI DAN SHOLIHIN

Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya , lalu berkata :
   الله الذي يحيى ويميت وهو حيّ لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فلنك أرحم الراحمين , وكبّر عليها أربعا وأدخلوهااللحد هو والعبّاس وأبو بكر الصديق رضي الله عنهم.

“Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam al Kabir dan al Awsath. 
Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. ( Majma’ul Zawaaid vol. 9 hlm. 257 ). Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih.Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil Barr juga meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara sebagian dengan yang lain. Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ Syaikh al Hafidh al Ghimari hlm 20 menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang menilainya lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu Al Hafidh Al Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa yang mengesankan kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits shahih. 

Bisa dicatat di sini bahwa para Nabi yang Nabi SAW bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam hadits ini dan hadits lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya tawassul kepada Allah dengan kemuliaan ( bilhaq ) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan ( ahlulhaq ) baik masih hidup maupun sesudah wafat.

Bersambung ke Bagian VI...



Emoticon