Oleh : M.
Ma’ruf Khozin [1]
[8] Riwayat ini adalah sebuah hadis, HR al-Baihaqi
dalam Syu'ab al-Iman No 1919 dan No 2058.
Untuk
membahas masalah ini secara lebih mendalam, akan kami ulas terlebih dahulu
pokok masalah uatamanya dari berbagai dalil dan pandangan ulama, yaitu mengenai
mengirim pahala bacaan al-Quran kepada orang yang telah meninggal.
Masalah
ini merupakan ranah khilafiyah para ulama sejak dahulu, oleh karenanya
al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi mengawali bab tentang masalah ini dengan
redaksi sebagai berikut:
اُخْتُلِفَ فِي وُصُوْلِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلْمَيِّتِ فَجُمْهُوْرُ السَّلَفِ
وَاْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ عَلَى الْوُصُوْلِ (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 302)
"Telah
terjadi perbedaan diantara para Ulama mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran
kepada orang yang telah meninggal. Menurut mayoritas ulama Salaf dan ulama tiga
Madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) menyatakan bisa sampai kepada orang yang
telah wafat" (Syarh al-Shudur I/203)
Pendapat
mayoritas ulama ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidla'
al-Shirat al-Mustaqim II/261:
اِنَّ ثَوَابَ
الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْقِرَاءَةِ وَغَيْرِهِمَا
يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ كَمَا يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُ الْعِبَادَاتِ
الْمَالِيَّةِ بِاْلإِجْمَاعِ وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدَ
وَغَيْرِهِمَا وَقَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِي وَمَالِكٍ وَهُوَ
الصَّوَابُ ِلأَدِلَّةٍ كَثِيْرَةٍ ذَكَرْنَاهَا فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ (اقتضاء
الصراط المستقيم لابن تيمية 2 / 261)
"Sesungguhnya
pahala ibadah secara fisik seperti salat, membaca al-Quran dan lainnya, bisa
sampai kepada mayit sebagaimana ibadah yang bersifat harta secara Ijma'. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, kelompok ulama Syafi'iyah dan Malikiyah.
Ini adalah yang benar berdasarkan dalil-dalil yang banyak, yang kami jelaskan
di lain kitab ini (dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu'
al-Fatawa 24/306-313)."
Banyak
pihak yang kemudian menghantam warga NU yang mayoritas mengikuti madzhab
Syafi'i, bahwa menurut mereka Imam Syafi'i berpendapat tidak dapat sampainya
bacaan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Mereka umumnya
mengutip pernyataan dari Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Karena
mereka di luar pengikut Imam Syafi'i, maka sudah jelas mereka tidak memahaminya
secara mendalam. Disini kami paparkan terlebih dahulu pernyataan dari para
ulama Syafi'iyah terkait anjuran membaca al-Quran di kuburan, yang sudah pasti
orang yang meninggal dapat merasakan manfaat dari bacaan tersebut, kemudian
kami paparkan pula kesepakatan para ulama dalam masalah mengirimkan pahala ini.
Dalil membaca al-Quran di kuburan adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ
إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ
رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه
الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 /
449)
"Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika
diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah
dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran
(Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di
kuburnya" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab
al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Main 4/449)[2]
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis
tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ
وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح
الباري لابن حجر 3 / 184)
"HR
al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)
Imam
al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di
kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ
(لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ
عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع
شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
"Dan
dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan
mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh
al-Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu'
Syarh al-Muhadzdzab V/311)
Di bagian lain Imam Nawawi juga berkata:
قَالَ الشَّافِعِي
وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ
قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع
للشيخ النووي 5 / 294)
"Imam
Syafi'i dan ulama Syafi'iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran
di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran
keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu'
V/294)
وَقَالَ الْحَسَنُ
بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ
عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم 1 /
11)
"Al-Za'farani
(perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang
membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa" (al-Ruh, Ibnu
Qoyyim, I/11)
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari riwayat al-Za'farani
dari Imam Syafi'i ini:
وَهَذَا نَصٌّ
غَرِيْبٌ عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ
ثِقَةٌ وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ
فَهُوَ مَعْمُوْلٌ بِهِ (الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ
أحمد بن علي بن محمد بن علي بن حجر العسقلاني 1 / 85)
"Ini
penjelasan yang asing dari al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim,
ia orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan
dengan penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan (yaitu
boleh membaca al-Quran di kuburan)" (al-Imta', al-Hafidz Ibnu Hajar, I/11)
Ibnu Hajar mengulas lebih kongkrit:
ِلأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ
الذِّكْرِ وَالذِّكْرُ يَحْتَمِلُ بِهِ بَرَكَةٌ لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ
وَتَعُمُّ تِلْكَ الْبَرَكَةُ سُكَّانَ الْمَكَانِ وَأَصْلُ ذَلِكَ وَضْعُ الْجَرِيْدَتَيْنِ
فِي الْقَبْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَائِدَتَهُمَا أَنَّهُمَا مَا دَامَتَا رَطْبَتَيْنِ
تُسَبِّحَانِ فَتَحْصُلُ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِهِمَا لِصَاحِبِ الْقَبْرِ ... وَإِذَا حَصَلَتِ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِ
الْجَمَادَاتِ فَبِالْقُرْآنِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ مِنَ اْلآدَمِيِّ
الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى بِحُصُوْلِ الْبَرَكَةِ بِقِرَاءَتِهِ
وَلاَ سِيَّمَا إِنْ كَانَ الْقَارِئُ رَجُلاً صَالِحًا وَاللهُ أَعْلَمُ (الإمتاع
بالأربعين المتباينة السماع للحافظ ابن حجر 1 / 86)
"Sebab
al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, dan dzikir mengandung berkah di
tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian berkahnya merata kepada para
penghuninya (kuburan). Dasar utamanya adalah penanaman dua tangkai pohon oleh
Rasulullah Saw di atas kubur, dimana kedua pohon itu akan bertasbih selama
masih basah dan tasbihnya terdapat berkah bagi penghuni kubur. Jika benda mati
saja ada berkahnya, maka dengan al-Quran yang menjadi dzikir paling utama yang
dibaca oleh makhluk yang paling mulia sudah pasti lebih utama, apalagi jika
yang membaca adalah orang shaleh" (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta' I/86)
Kalaupun ada pernyataan dari Imam Syafi'i terkait tidak
sampainya pahala bacaan al-Quran yang dihadiahkan pada orang yang meninggal,
maksudnya adalah jika dibaca dan tidak dihadiahkan kepada orang yang meninggal
atau tidak dibaca di hadapan mayatnya. Maka jika dibaca lalu diniatkan agar
pahalanya diperuntukkan bagi orang yang meninggal atau dihadapan mayat, maka
bacaan itu bisa sampai kepadanya (Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra II/27 dan al-Dimyathi Syatha dalam I'anat
al-Thalibin III/259)
Sedangkan hadis
yang terkait menghadiahkan bacaan al-Quran telah dikutip oleh banyak para
ulama, bahkan pendiri aliran Wahhabi, Muhammad bin Abdul Wahhab yang banyak
diikuti oleh kelompok anti tahlil di Indonesia, juga mengutip riwayat hadis
tersebut:
وَأَخْرَجَ أَبُوْ
الْقَاسِمِ سَعْدُ بْنُ عَلِيٍّ الزَّنْجَانِيُّ فِي فَوَائِدِهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
وَأَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ
مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَأَخْرَجَ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ
بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ
وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاتٌ (عمدة القاري شرح صحيح
البخاري لبدر الدين العيني 4 / 497 وشرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال
الدين السيوطي 1 / 303 وفي احكام تمني الموت لمحمد بن عبد الوهاب - مؤسس الفرقة
الوهابية - 75)
"Abu Qasim Saad bin Ali al-Zanjani
dalam kitab Fawaidnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw
bersabda: 'Barangsiapa masuk ke kuburan kemudian membaca al-Fatihah, al-Ikhlas,
al-Takatsur, lalu berdoa: Sesungguhnya saya jadikan bacaan saya dari firman-Mu
untuk para ahli kubur, baik mukminin dan mukminat, maka mereka akan menjadi
pemberi syafaat baginya di sisi Allah'. Al-Khallal juga meriwayatkan sebuah
hadis dari Anas bin Malik: 'Barangsiapa masuk ke kuburan, kemudian membaca
Yasin,[4] maka Allah akan meringankan kepada
mereka pada hari itu dan dia mendapatkan kebaikan-kebaikan sesuai bilangan yang
ada di kuburan tersebut" (Badruddin al-Aini dalam kitab Umdat al-Qari
Syarah Sahih al-Bukhari IV/497, al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh
al-Shudur I/303 dan Muhammad bin Abdul Wahhab –Pendiri aliran Wahhabi–
dalam Ahkam Tamanni al-Maut 75)
Dan hadis dari Ali secara marfu':
وَحَدِيْثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ
وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَحَدَ عَشَرَ مَرَّةً وَوَهَبَ اَجْرَهُ لِلاَمْوَاتِ
اُعْطِىَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ رَوَاهُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ السَّمَرْقَنْدِي (التفسير المظهرى 1 / 3733 وشرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ
جلال الدين السيوطي 1 / 303)
"Barangsiapa
melewati kuburan kemudian membaca surat
al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah
meninggal, maka ia mendapatkan pahala sesuai bilangan orang yang meninggal.
Diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Samarqandi"[5]
(Tafsir al-Mudzhiri I/3733 dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur
I/303)
Hal
ini diperkuat oleh madzhab Imam Ahmad:
(وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ) قَالَ الْمَرُّوْذِيُّ
سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ إذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوْا
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا
ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ وَكَانَتْ
هَكَذَا عَادَةُ اْلأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ يَقْرَءُوْنَ
الْقُرْآنَ (مطالب أولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 9)
"(Dianjurkan
membaca al-Quran di kuburan) Al-Marrudzi berkata: Saya mendengar Imam Ahmad
berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-Falaq,
al-Nas dan al-Ikhlash. Jadikan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai pada
mereka. Seperti inilah tradisi sahabat Anshar dalam berlalu-lalang ke kuburan
untuk membaca al-Quran[6]" (Mathalib
Uli al-Nuha 5/9)
Ibnu Taimiyah pun, yang menjadi panutan kelompok anti
tahlil, juga memperbolehkan sedekah untuk mayat, khataman al-Quran dan
mengumpulkan orang lain untuk mendoakannya:
الصَّحِيْحُ أَنَّهُ يَنْتَفِعُ الْمَيِّتُ بِجَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ
مِنْ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ كَمَا يَنْتَفِعُ بِالْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ
مِنْ الصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَنَحْوِهِمَا بِاتِّفَاقِ اْلأَئِمَّةِ وَكَمَا لَوْ
دَعَا لَهُ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ وَالصَّدَقَةُ عَلَى الْمَيِّتِ أَفْضَلُ مِنْ عَمَلِ
خَتْمَةٍ وَجَمْعِ النَّاسِ وَلَوْ أَوْصَى الْمَيِّتُ أَنْ يُصْرَفَ مَالٌ فِي هَذِهِ
الْخَتْمَةِ وَقَصْدُهُ التَّقَرُّبُ إلَى اللهِ صُرِفَ إلَى مَحَاوِيْجَ يَقْرَءُوْنَ
الْقُرْآنَ وَخَتْمَةٌ أَوْ أَكْثَرُ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ جَمْعِ النَّاسِ (الفتاوى
الكبرى لابن تيمية 5 / 363)
"Pendapat
yang benar bahwa mayit mendapatkan manfaat dengan semua ibadah fisik, seperti
salat, puasa dan bacaan al-Quran, sebagaimana ibadah harta seperti sedekah,
memerdekakan budak dan sebagainya berdasarkan kesepakatan para Imam, dan
sebagaimana ia mendoakannya atau meminta ampunan untuknya. Sedekah untuk mayat
lebih utama daripada mengkhatamkan al-Quran dan mengumpulkan orang. Jika mayit
berwasiat agar hartanya digunakan untuk khataman dan tujuannya adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, maka harta tersebut digunakan untuk kebutuhan
membaca al-Quran dengan sekali khatam atau lebih dari satu kali. Dan
mengkhatamkan al-Quran ini lebuh utama daripada mengumpulkan orang lain"
(al-Fatawa al-Kubra V/363)
Begitu pula Ibnu al-Qayyim, murid Ibnu Taimiyah, berkata:
وَبِالْجُمْلَةِ
فَأَفْضَلُ مَا يُهْدَى إِلَى الْمَيِّتِ الْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ
وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُ وَالدُّعَاءُ لَهُ وَالْحَجُّ عَنْهُ وَأَمَّا قِرَاءَةُ
اْلقُرْآنِ وَإِهْدَاؤُهَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ
إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ (الروح لابن القيم 1 /
142)
"Secara
global, sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedeqah,
istighfar, berdoa untuk orang yang meninggal dan berhaji atas nama dia. Adapun
membaca Al Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayyit dengan suka rela
tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji
juga sampai kepadanya" (al-Ruh I/142)
Terkait
dengan masalah menghadiahkan bacaan dzikir kepada ahli kubur, maka kesemuanya
bisa sampai kepada mereka seperti yang diamalkan oleh warga NU dalam Tahlilan.
Sebagaimana menurut al-Hafidz Ibnu Hajar:
وَالذِّكْرُ يَحْتَمِلُ
بِهِ بَرَكَةٌ لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ وَتَعُمُّ تِلْكَ الْبَرَكَةُ سُكَّانَ
الْمَكَانِ
(الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ ابن حجر 1 / 86)
"Dan
dzikir mengandung berkah di tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian
berkahnya merata kepada para penghuninya (kuburan)" (al-Hafidz Ibnu Hajar,
al-Imta' I/86)
Amaliyah warga NU ini diperkuat oleh fatwa Ibnu Taimiyah
mengenai kirim pahala tahlil dan dzikir lainnya:
(وَسُئِلَ) عَمَّنْ هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ
لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ أَمْ
لاَ ؟ وَإِذَا هَلَّلَ اْلإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ
ثَوَابُهُ أَمْ لاَ ؟ (فَأَجَابَ) إذَا هَلَّلَ اْلإِنْسَانُ هَكَذَا سَبْعُوْنَ
أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ
وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلاَ ضَعِيْفًا وَاللهُ أَعْلَمُ (مجموع
الفتاوى لابن تيمية 24 / 165)
"Ibnu
Taimiyah ditanya tentang seseorang yang membaca tahlil tujuh puluh ribu kali
dan dihadiahkan kepada mayit sebagai pembebas dari api neraka, apakah ini hadis
sahih atau bukan? Ibnu Taimiyah menjawab: Jika seseorang membaca tahlil
sebanyak tujuh puluh ribu, atau kurang, atau lebih banyak, lalu dihadiahkan
kepada mayit, maka Allah akan menyampaikannya. Hal ini bukan hadis sahih atau
dlaif" (Majmu' al-Fatawa XXIV /165)
(وَسُئِلَ) عَنْ
قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ إلَيْهِ ؟ وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّحْمِيْدُ
وَالتَّهْلِيْلُ وَالتَّكْبِيْرُ إذَا أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ
ثَوَابُهَا أَمْ لاَ ؟ (فَأَجَابَ) يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ
وَتَسْبِيْحُهُمْ وَتَكْبِيْرُهُمْ وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ ِللهِ تَعَالَى إذَا
أَهْدَوْهُ إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ إلَيْهِ وَاللهُ أَعْلَمُ (مجموع
الفتاوى لابن تيمية 24 / 165)
"Ibnu
Taimiyah ditanya mengenai bacaan keluarga mayit yang terdiri dari tasbih,
tahmid, tahlil dan takbir, apabila mereka menghadiahkan kepada mayit apakah
pahalanya bisa sampai atau tidak?[7] Ibnu Taimiyah menjawab: Bacaan
kelurga mayit bisa sampai, baik tasbihnya, takbirnya dan semua dzikirnya,
karena Allah Ta'ala. Apabila mereka menghadiahkan kepada mayit, maka akan
sampai kepadanya" (Majmu' al-Fatawa XXIV /165)
Begitu
pula fatwa mengirimkan pahala bacaan al-Quran:
وَرُوِيَ عَنْ
طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ عِنْدَ كُلِّ خَتْمَةٍ دَعْوَةٌ مُجَابَةٌ فَإِذَا دَعَا
الرَّجُلُ عَقِيْبَ الْخَتْمِ لِنَفْسِهِ وَلِوَالِدَيْهِ وَلِمَشَايِخِهِ
وَغَيْرِهِمْ مِنْ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانَ هَذَا مِنْ الْجِنْسِ
الْمَشْرُوْعِ وَكَذَلِكَ دُعَاؤُهُ لَهُمْ فِي قِيَامِ اللَّيْلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
مِنْ مَوَاطِنِ اْلإِجَابَةِ وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَمَرَ بِالصَّدَقَةِ عَلَى الْمَيِّتِ وَأَمَرَ أَنْ يُصَامَ
عَنْهُ الصَّوْمَ فَالصَّدَقَةُ عَنِ الْمَوْتَى مِنْ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ
وَكَذَلِكَ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ فِي الصَّوْمِ عَنْهُمْ وَبِهَذَا
وَغَيْرِهِ اِحْتَجَّ مَنْ قَالَ مِنَ الْعُلَمَاءِ إنَّهُ يَجُوْزُ إهْدَاءُ
ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ وَالْبَدَنِيَّةِ إلَى مَوْتَى
الْمُسْلِمِيْنَ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيْفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ
أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ فَإِذَا أَهْدَى لِمَيِّتٍ ثَوَابَ صِيَامٍ
أَوْ صَلاَةٍ أَوْ قِرَاءَةٍ جَازَ ذَلِكَ (مجموع الفتاوى لابن
تيمية 24 / 322)
"Dan
diriwayatkan daru ulama salaf bahwa 'Setiap khatam al-Quran terdapat doa yang
terkabul'[8].
Jika seseorang berdoa setelah khatam al-Quran, baik untuk dirinya sendiri,
kedua orang tuanya, para gurunya, dan yang lain dari kalangan mukminin dan
mukminat, maka doa ini tergolong bagian dari doa yang disyariatkan. Begitu pula
doa bagi mereka saat tengah malam, dan tempat-tempat istijabah lainnya. Dan
sungguh telah sahih dari Nabi Muhammad Saw bahwa beliau memerintahkan sedekah
untuk mayit dan puasa untuknya. Bersedekah atas nama orang yang telah mati
adalah bagian dari amal shaleh, begitu pula puasa. Dengan dalil ini, para ulama
berhujjah bahwa boleh menghadiahkan pahala ibadah yang bersifat harta atau
fisik kepada umat Islam yang telah wafat, sebagaimana pendapat Ahmad, Abu
Hanifah, segolongan dari Madzhab Malik dan Syafi'i. maka jika menghadiahkan
pahala puasa, salat dan bacaan al-Quran kepada orang yang telah wafat, maka
hukumnya boleh" (Majmu' al-Fatawa XXIV/322)
Bahkan menurut Imam Ahmad hal diatas adalah konsensus
para ulama:
قَالَ أَحْمَدُ الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ
لِلنُّصُوْصِ الْوَارِدَةِ فِيْهِ وَلأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ يَجْتَمِعُوْنَ فِي
كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُوْنَ وَيَهْدُوْنَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ
فَكَانَ إجْمَاعًا (كشاف القناع عن متن الإقناع للبهوتي الحنبلي 4 / 431 ومطالب
اولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 10)
"Imam
Ahmad berkata: Setiap kebaikan bisa sampai kepada mayit berdasarkan dalil
al-Quran dan hadis, dan dikarenakan umat Islam berkumpul di setiap kota, mereka
membaca al-Quran dan menghadiahkan untuk orang yang telah meninggal diantara
mereka, tanpa ada pengingkaran. Maka hal ini adalah ijma' ulama (Kisyaf
al-Qunna' IV/ 431 dan Mathalib Uli al-Nuha V/10)
Kesimpulannya, bacaan dzikir yang dihadiahkan kepada ahli
kubur dapat sampai kepada mereka, sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari:
وَقَالَ الْمُحِبُّ
الطَّبَرِي يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ عِبَادَةٍ تُفْعَلُ وَاجِبَةٍ أَوْ مَنْدُوْبَةٍ
وَفِي شَرْحِ الْمُخْتَارِ لِمُؤَلِّفِهِ مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلاِنْسَانِ
أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلاَتِهِ لِغَيْرِهِ وَيَصِلُهُ اهـ (حاشية
إعانة الطالبين 1 / 33)
"Semua
ibadah yang dilakukan, baik ibadah wajib atau sunah, dapat sampai kepada orang
yang telah wafat. Dan disebutkan dalam kitab Syarah al-Mukhtar bahwa dalam
ajaran Aswaja hendaknya seseorang menjadikan pahala amalnya dan salatnya
dihadiahkan kepada orang lain (yang telah wafat), dan hal itu akan sampai
kepadanya" (I'anat al-Thalibin I/33)
Kelompok
anti tahlil yang kerap berdalil dengan Surat
al-Najm: 38, untuk menolak menghadiahkan pahala kepada ahli kubur, dibantah
dengan sangat keras oleh pimpinan mereka sendiri, Ibnu Taimiyah. Ia berkata:
وَمَنِ احْتَجَّ عَلَى
ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى فَحُجَّتُهُ
دَاحِضَةٌ (اَيْ بَاطِلَةٌ) فَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ بِالنَّصِّ وَاْلإِجْمَاعِ
أَنَّهُ يَنْتَفِعُ بِالدُّعَاءِ لَهُ وَاْلاِسْتِغْفَارِ وَالصَّدَقَةِ
وَالْعِتْقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (المسائل والأجوبة لابن تيمية 1 / 132)
"Orang yang berhujjah
tidak sampainya pahala kepada orang yang telah wafat dengan firman Allah "Dan bahwasannya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" (al-Najm 39), maka
hujjahnya salah fatal. Sebab telah dijelaskan dalam nash al-Quran-Hadis dan
Ijma Ulama bahwa mayit menerima manfaat dengan doa kepadanya, memintakan
ampunan, sedekah, memerdekakan budak dan sebagainya" (al-Masail wa
al-Ajwibah I/132)
[1] Ketua LBM NU Kota Surabaya
[2]
Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 15833 meriwayatkan wasiat
al-'Ala' kepada anak-anaknya agar dibacakan awal-akhir surat al-Baqarah di
kuburnya karena ia mendengarnya dari Rasulullah Saw. Al-Haitsami
menilai para perawinya terpercaya (Majma' al-Zawaid III/66)
[3] Qoul Qadim adalah pendapat Imam Syafi'i ketika
di Iraq. Para perawinya adalah al-Karabisi, al-Za'farani, Abu Tsaur dan Ahmad
bin Hanbal. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat 'refisi' Imam Syafi'i
setelah menetap di Mesir 90 H. Para perawinya adalah al-Muzani, al-Buwaithi,
Rabi' al-Jaizi dan Rabi' al-Muradi, perawi kitab al-Umm ( Hasyiah al-Qulyubi
I/14)
[4] Membaca
Yasin di kuburan kendatipun hadis-hadisnya dlaif, tetapi kesemuanya saling
menguatkan (al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Laali al-Mashnu'ah
II/365 dan Ibnu 'Arraq dalam Tanzih al-Syari'ah II/373)
[5] Riwayat
semacam ini banyak dikutip oleh kalangan Syafi'iyah Muta'akhirin,
seperti dalam al-Jamal VII/224 dan al-Qulyubi I/412
[6] Juga
dikutip oleh Ibnu al-Qayyim, murid Ibnu Taimiyah, dalam kitab al-Ruh 11
[7] Jika
melihat dari isi pertanyaan, maka dahulu sudah ada rangkaian dzikir yang
susunannya terdiri dari gabungan beberapa dzikir, seperti tasbih, tahmid,
tahlil dan sebagainya untuk dihadiahkan pada ahli kubur. Hal ini sama dengan
susunan dzikir dalam tahlil yang biasa dilakukan oleh warga NU.